Rabu, 25 Juli 2007

Mengurai Benang Kusut Kepemimpinan Megawati
Oleh : Akhmad Khudzaifi WZF

Menjelang pemilu 2004 ini tampaknya suhu politik bertambah panas. Di awal tahun 2003 ini pemerintahlah justru yang menyalakan pemantiknya dengan menaikan harga BBM, TDL, dan telpon (walaupun kemudian sebagian dikoreksi), sehingga pemerintah harus menuai aksi protes dari seluruh elemen lapisan masarakat dari mahasiswa, pekerja (buruh), pengusaha sampai ibu-ibu. Mereka semua rame-rame turun ke jalan untuk menyerukan aspirasinya dan menolak kebijakan pemerintah yang jelas-jelas tidak populis dan tidak berpihak kepada rakyat.

Bila kemudian tuntutan itu dipolitisasi oleh sebagian kalangan dan diasumsikan telah berbelok arah menjadi tuntutan mundur duet Mega-Hamzah itu sah-sah saja dalam situasi politik seperti ini. Bagi para mahasiswa, tuntutan mundur itu tak lebih dari kausalitas dari ketiadaan respon pemerintah terhadap lima tuntutan mahasiswa, yaitu batalkan kenaikan harga (bukan diturunkan sebagian), hentikan penjualan aset negara pada asing (termasuk pembatalan divestasi Indosat), seret para konglomerat hitam bermasalah yang telah memakan uang rakyat ratusan triliun dan alihkan menjadi subsidi bagi rakyat, tolak intervensi asing, dan hentikan pembodohan rakyat.

Memang dalam kurun waktu 19 bulan tidak banyak yang dihasilkan oleh pemerintahan Megawati (yang betul-betul dirasakan serta menyentuh langsung kepentingan rakyat). Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, Megawati dinilai lebih banyak berpihak kepada konglomerat walaupun dalam kampanye politiknya selalu menggembar-gemborkan sebagai ketua umum parta wong cilik. Tengoklah, misalnya, sikap Megawati yang lebih melanjutkan perjalanan ke luar negeri dibanding menengok para pengungsi di Nunukan, atau kebijakannya mengeluarkan inpres Release and Discharge (R & D) bagi para konglomerat bermasalah pengemplang utang.

Kemudian, pertanyaannya adalah layakkah pemerintahann (rejim) sekarang ini dipertahankan? Dan, seperti apa pertimbangannya? Sebagian kalangan menilai bahwa pemerintahan harus diberikan kesempatan sampai akhir masa jabatan dengan pertimbangan supaya tidak menjadi preseden buruk di masa yang akan dating, yaitu setiap pemerintah dapat digoyang untuk diturunkan. Tentunya hal tersebut akan memperlambat dan menambah panjang PR pembangunan bangsa.

Minimal ada tiga variabel yang sangat mempengaruhi terjadi tidaknya transisi kepemimpinan nasional. Pertama, legalitas publik. Ini dapat tercermin dari opini yang berkembang di media masa, termasuk di dalamnya aksi-aksi protes yang terus digelar oleh berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, pekerja (buruh), pengusaha, LSM, ataupun elemen bangsa lainnya. Bila ini semua menggelinding menjadi snow ball (bola salju), tidak mustahil akan menjadi salah satu sebab jatuhnya rejim ini. Apalagi, ditambah sikap refresif aparat dengan menangkapi para aktivis, atau dengan jatuhnya korban di kalangan masa demonstrasi. Tentu itu akan memicu aksi yang lebih luas di tanah air sebagai resistensi terhadap pemerintah. Inilah tampaknya yang membuat Megawati merasa gundah dan terpojokan sehingga perlu memberikan kritiknya kepada pers dalam pidato politik HUT PDIP.

Kedua, militer, dalam hal ini TNI dan POLRI, melalui elit-elit decision maker, baik yang berada di legislatif maupun eksekutif. Tentunya dengan visi baru reformasi internal TNI yang tidak mau terlibat langsung dalam politik praktis dan mengubah paradigma dari menduduki menjadi mempengaruhi, TNI memilki bargaining (posisi tawar) tersendiri serta menjadi juru kunci penentu transisi kepemimpinan nasional.

Ketiga, parlemen. Tentunya tarik ulur kepentingan dua partai besar pemenang pemilu Golkar dan PDIP akan sangat berpengaruh. Akbar Tanjung yang tersandung kasus Bulog dan sudah mendapat vonis akan melakukan bargaining politik dengan Megawati, dalam hal ini PDIP sebagai partai pendukung pemerintah.

Akumulasi kekecewaan partai politik lain, baik yang berhalaun sekular maupun yang berhalaun Islam, terhadap Megawati yang tidak juga mengubah kebijakannya dapat juga membuat aliansi bersama. Partai sekular yang berbasis ideologi sosialis atau nasionalis kebanyakan menggerutu karena sikap pemerintah Megawati yang dianggap tidak nasionalis, karena berkolaborasi dengan asing yang kapitalis dalam penjualan serta penguasaan aset-aset nasional. Ini dapat dijadikan landasan konstitusi transisi kepemimpinan nasional, yaitu tidak dilaksanakannya Tap MPR 2002 yang berisikan pemutusan hubungan dengan IMF dan pemberantasan KKN.

Sementara, bagi kalangan muslim kekecewaan itu ditambah dengan sikap pemerintah terhadap gerakan Islam dengan isu teroris. Gerakan Islam yang dianggap "keras" menjadi kambing hitam jaringan teroris internasional yang selama ini di bidik pemerintah AS dan sekutunya. Sikap diskriminasi pemerintah dalam menangani kasus Abu Bakar Ba'asyir yang terlihat mengada-ada (berbeda dengan penanganan kasus pejabat seperti Akbar Tanjung, dan terkesan cari muka) itu menambah kesan kian transparannya rekayasa internasional pemojokan gerakan Islam yang mendengungkan penerapan syariat Islam sebagai bagian gerakan teroris internasional.

Sikap Megawati yang banyak diam (menandakan persetujuan?) telah menjadi batu sandungan bagi partai-partai Islam, apakah kepemimpinan ini terus dipertahankan sesuai dengan konsensus bersama yang berakhir tahun 2004, atau cukup diakhiri sampai di sini saja.

Urgensi Moralitas dalam Krisis Kepemimpinan Bangsa
Oleh : Akhmad Khudzaifi WZF

Perbincangan masalah Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 pada saat sekarang ini menjadi fokus menarik dikalangan pengamat dan mahasiswa, bahkan masyarakat di Indonesia. Periodisasi kepemimpinan nasional dalam format rezim pemerintahan selalu menyajikan sorotan tajam dari kehidupan supra struktur politik khususnya dan kehidupan infrastruktur politik pada umumnya. Apalagi model dalam pemilihan presiden sudah diganti dengan pemilihan presiden secara langsung. Dengan tujuan untuk mengarahkan perpolitikan Indonesia kearah demokratisasi. Tetapi permasalahannya hingga saat sekarang ini masih menyimpan ketakutan-ketakutan besar bagi masyarakat, karena para calon-calon pemimpin sudah tidak memiliki figur di hadapan masyarakat. Sehingga harus bagaimana masyarakat agar memilih pemimpin bangsa ini untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan masa lampau?

Salah satu pelajaran terpenting bagi bangsa Indonesia adalah tidak pernah mencermati secara mendalam keburukan-keburukan yang paling penting dari para pemimpin yang lalu. Sepertinya seluruh golongan masyarakat selalu mengomentari atau mengkritisi pemimpinan masa lalu dari keburukan kinerja-kinerja mereka karena tidak pernah mensejahterakan masyarakatnya tanpa melihat dibalik dari keburukan kinerja tersebut. Hal ini dibuktikan pada zaman kepemimpinan Soekarno para masyarakat dan mahasiswa menggulingkan Soekarno karena menerapkan demokrasi terpimpinya, sehingga masyarakat dan mahasiswa harus melengserkan Soekarno dari kursi kepemimpinannya.

Pada zaman Soehartopun sama, karena menebalnya kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), akhirnya Soeharto turun dari jabatannya. Pada zaman Habibie dengan ditolaknya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ), karena dengan merdekanya Timor-Timur sebagai suatu negara. Hal yang sama juga dilakukan oleh kepemimpinan Abdurrahman Wahid, karena kasus Buloggate. Pada kepemimpinan saat inipun tidak lepas dari kritikan dan ancaman bahwasannya kepemimpinan Megawatipun mengalami keburukan dalam kinerjanya.

Sebenarnya dari keburukan-keburukan kinerja itu ada satu hal yang belum pernah terditeksi sama sekali, yakni dengan tidak memiliki moral dari pemimpin-pemimpin bangsa. Sepertinya para pemimpin bangsa tidak pernah melekatkan moralitas sebagai landasan dalam melakukan aktivitasnya. Sehingga wajar saja apabila bangsa Indonesia terpuruk oleh berbagai krisis multidimensi, hingga krisis kepemimpinan saat ini.

Memang sangat baik apabila seluruh pemimpin atau calon pemimpin kedepan menerapkan bahwasannya bangsa Indonesia harus terlepas dari krisis, sehingga cita-cita sebagai bangsa ideal akan tercapai. Hal inipun akan mengembalikan citra bangsa Indonesia dihadapan dunia internasional. Tetapi cita-cita muluk itu seolah-olah menafikan aspek lain yang sangat urgen menjadi dasar perilaku kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya moralitas orang tidak segan-segan melakukan tindakan asusila, bahkan mungkin apabila tidak sesuai pendapat dengan dirinya akan melakukan tindakan kekerasan.

Sejak pemerintahan Orde Baru (orba) dan digulirkannya era reformasi betapa banyak kasus krisis moral yang melanda bangsa ini. Kasus KKN, perkosaan, penjarahan, pembantaian dan baku hantam sesama manusia, antar etnis, agama dan pendukung partai politik hampir tiap hari selalu mewarnai pemberitan pers dan media masa.

Utopia yang diinginkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang berbudi pekerti luhur, yang cinta damai, adil dan makmur seakan-akan hanya slogan saja. Distopia (keadaan yang tidak diinginkan) oleh bangsa ini, malah menjadi seuatu kenyataan. Betapa sangat menyedihkan bangsa ini seperti tercabik-cabik oleh perilaku dirinya sendiri.

Nilai-nilai moral pancasila yang telah diajarkan dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi pun tidak mampu menghadapi gejolak krisis kepemiminan yang ada. Hanya lewat kesadaran dari diri pribadi dan agamalah yang mampu mendongkrak moral kita menjadi lebih baik kembali.

Tidak salah jika kita harus mengaplikasikan aspek moral pada posisi terdepan, karena dengan moralitas ini akan menuju kepada keinginan untuk rela berkorban demi bangsa dan negara tanpa memikirkan pribadinya dan mengacu kepada landasan agama (religius). Meskipun memang moralitas ini bersifat abstrak dan tidak memiliki sanksi tegas yang berbeda dengan hukum. Namun, justru karena abstraknya tersebut menarik untuk dijadikan landasan berprilaku.

Berangkat dari sinilah, maka urgensi nilai-nilai moralitas dalam mengatasi krisis kepemimpinan bangsa dalam rangka menumbuh kembangkan sikap pragmatisme dan oportunitik yang tidak sesuai dengan nilai filosofis (pancasila) dan nilai sosiologis adalah suatu kebutuhan dan suatu kenyataan yang harus ada dan segera direalisasikan dalam dunia perpolitikan saat ini menuju arah yang demokratis. Sehingga kebangkitan bangsa Indonesia menuju cita-cita ideal sebagai bangsa yang maju dan kuat akan terwujud.



Invasi USA Beserta Organisasi PBB-nya
Oleh : Akhmad Khudzaifi WZF

30 hari sudah yang sudah dirasakan oleh rakyat Irak selama agresi yang dilancarkan oleh Amerika, kita sedikit tengok ke-negara penghasil minyak terbesar Irak. Sampai detik inipun suara-suara letupan senjata dan bombardir dari pesawat-pesawat tempur negara adikuasa berserta sekutunya masih terdengar pada kuping saudara-saudara kita yang ada disana. Banyak sekali saudara kita disana saat ini merasa tidak tenang dan nyaman karena banyak saudara-saudara kita yang tidak mengetahui apa-apa mengenai tuduhan dari negara Adi kuasa (Amerika) yang saat ini banyak yang merintih kesakitan dan kelaparan. Tidak sedikit warga sipil telah terbunuh oleh senjata-senjata tentara-tentara Bush. Inilah satu fenomen yang benar-benar diluar dugaan kita semua, mengapa ? Amerika yang selama ini mengembor-ngembor kan masalah Hak Asasi Manusia (HAM) internasional. Tapi sebaliknya Amerika sendirilah yang saat ini tidak sedikitpun mengindahkan penyataan mereka sendiri, malah justru sebagai negara pelopor menginjak-ijak Hak Asasi Manusia tanpa dilandasi dengan alasan-alasan yang tepat.

Setelah irak porak-poranda seperti ini, selanjutnya apa yang akan dilakukan lagi oleh Bush ?. Sudah tidak berdaya lagi negara saudara kita disana setelah seluruh fasilitas maupun kantor-kantor militer, pemerintahan dan lain sebagainya telah dihancurkan oleh rudal-rudal tentara koalisi yang dipimpin oleh Bush. Apakah ini yang dikatakan sebagai negara adi kuasa yang menentang sekali permasalahan teroris, apakah tidak merek sendiri yang dikatakan sebagai negara teroris! Yang seenaknya sendiri mengobok-obok negara rakyat lain. Hanya tuduhan yang berkedok sebagai negara teroris dan berindikasi negara yang mempunyai senjata pemusnah masal, atau hanya permasalahan dendam pribadi dari Bush saja yang ingin menghancurkan seorang Sadam yang menjadi musuh bebuyutan dari ayah seorang Bush (Goerhg Bush).

Terakhir ini para tentara-tentara USA telah menguasai 80 % wilayah Bagdad, dengan peralatan-peralatan besar mereka seperti tank-tank yang masih menghiasi kota bagdad tersebut. Selain itu juga mereka memeriksa setiap mobil-mobil yang masuk-keluar wilayah tersebut, dengan alasan yang selicik itu mereka takut dengan adanya kejadian Bom bunuh diri yang akan terjadi lagi.

Sampai saat ini seorang Sadam tidak sedikitpun menampakkam dirinya, inilah yang menjadi polemik pada diri Bush, dimana tuduhan mereka tentang kepemilikan senjata pemusnah masal, sampai saat ini belum menemukan bangkainya sedikitpun. Hanya akal yng dimiliki seekor anjinglah yang akan merasa takut pabila lawannya hanya sebatas membawah segelincir batu yang digengam. Ketika itu juga anjing tersebut berfikir keseribu kalinya untuk mengatasi masalah tersebut. Memng tidak jauh bila sorang Bush dikatakan juga Seekor Anjing liar.

Dengan hancurnya seluruh kota bagdad maka keuntunganlah yang akan diraup oleh Bush beserta kelompoknya. Dalam hal ini telah dirancang semua oleh akal lincuk Bush, pembenaha-pembenahan yang akan dilakukan pada kota tersebut sudalah menjadi terget utama bagi kelompok bush untuk ikut turut serta dalam campur tanggan kepada politik negara tersebut. Setelah dihancurkan dibangunlah lagi gedung-gedung yang telah mereka hancurkan, inilah salahh satu akal licik dari seekor anjing (Bush).

Disisi lain kita sangatlah bingung bila dihadapkan kepada pihak PBB saat ini. Ssampai bisanya suatu organisasi independent internasional yang tidak mempunyai sedikitpun kekuasaan terhadap anggota-anggotanya. Seharusnya PBB lah yang bertanggung jawab semua terhadap dunia atas tindakan yang tidak sedikitpun memecahkan permasalahan tetapi hanya sebagai suatu organisasi para orang-orang penjilat saja.

Semestinya inilah yang harusnya dijadikan pengelaman oleh negara-negara lain mengenai kebiadaban seorang Bush beserta organisassinya PBB. Marilah kita semua untuk lebih merapatkan barisan kita sendiri agar tidak pernah lagi berurusan dengan sekelompok orang penjilat, sudah anggaplah PBB itu bukan suatu orgnisasi yang terkuat melainkan hanya sebatas pekumpulan orang-orang penjilat.


Selasa, 24 Juli 2007

Bayang Bayang Kertas Kuning
Oleh : Akhmad Khudzaifi WZF

"Akhirnya terlaksana juga, " bisikku. Yo'i! Hari ini merupakan hari kemenangan yang telah lama kunantikan dan kuperjuangkan. Hari dimana aku bisa bebas merdeka dan menghirup udara segar sepuas-puasnya. Dan sepertinya hari ini pantas dirayakan, karena itu tanggal, bulan dan tahunnya harus dicatat agar nantinya aku bisa meriahkan setiap tahun. Inilah kebesan yang selama ini kuidam-idamkan. Beba dari macam rongrongan, bebas dari segala macam perintah yang mengekang, bebas dari mata tajam yang memaksaku untuk tetap belajar di dalam kamar, bebas dari semua adat-istiadat yang terdengar aneh ditelingaku, bebas dari ini itu, Pokoknya aku bebas!
Tak terpasung jiwa dan fisikku dimulai ketika pengumuman SPMB diumumkan sebagian besar surat kabar di pelosok negeri ini. Dan aku termasuk didalmnya. Artinya aku harus pergi dan tinggal sendiri di kota yang jauh dari rumahku ini. Asyik! Aku bisa bebas melakukan apapun, tanpa ada yang bisa menegur, mengomel apalagi menggangu keinginanku. Yes … yes … yes! Uhuiiiii.
Ekspresi kegembiraanku mengalir deras tanpa terhalangi. Aku membayangkan betapa indahnya hidup penuh hura-hura sendiri di kota besar, menjadi mahasiswa trendy, pacaran dengan cewek-cewek cantik, bebas merokok sepuasnya dan sejuta kenikmatan yang lainnya. Ah .. aku semakin tak sabaran. Lamunanku terus merayap, tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri. "Kak, kenapa cengengesan sendiri ?", suara adikku menghentikan lamunan indahku. "dasar anak kecil, mau tau aja urusan orang tua, sana pergi", kututup pintu kamarku seketika.
Semua barang bawaanku telah beres. Tapi, sepertinya ada yang kurang> "Apa ya?" kepalaku yang tak gatal menjadi sasaran jari-jari yang lagi iseng. Keputuskan untuk beranjak menuju ke gudang, banyak barang-barang bekas yang sudah tak terpakai lagi. Kebanyakan adalah barang-barang peninggalan masa kecilku dan perabotan milik ibuku yang usang. Saat aku menelusuri semua sudut ruangan, sebuah peti berdebu menarik perhatianku. Oh ya, itu peti pakaianku yang dulu disimpan rapih oleh ibunda tersayang. Didalamnya aku temukan sebuah jaket biru, yang mengingatkanku pada Erna pacar ketigaku. Dulu aku sering memakai jaket ini saat apel ke rumahnya. "Masih keren juga …" pikirku saat dulu.
Refleks aku terkejut saat, rogohan tanganku mengapai selembar kertas dalam saku jaket itu. Kertas itu aku keluarkan,lipatannya sudah agak lusuh dan warna kekuning-kuningan. Ku buka, dalam kertas itu tertulis kata-kata dengan tulisan tangan.
"Demi massa, Seesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih. Dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menaihati supaya menetapi kesabaran."
Bergetar saat aku membacanya. Meskipun aku orang islam tapi belum pernah aku membacanya. Apalagi dengan kewajiban sholat, karena aku sangat jarang mengerjakannya. Memang orang tua ku sangat disiplin dan diktator, tapi untuk urusan agama mereka tiak pernah mengajarkanku atau memaksaku. Kubolak-balik kertas itu, "Kok bisa ada dikantong jaket ini, ya ?! … ah masa bodo' amat !" sambil tanganku meremas selembar kertas itu kuat-kuat terus kubuang dan berlalu meninggalkan gudang itu. Saat menutup pintu gudang, aku mencoba menyempatkan menoleh ke tempat lipatan kertas yang kujatuhkan tadi. Ternyata kertas kuning tersebut hilang.
Tiga bulan sudah aku tinggal sendiri di rumah kost ini. Dan selama itu pula aku selalu menghabiskan waktu untuk memuaskan batinku yang dulu terkekang. Pergi ketempet hiburan, gobrol dan bergadang sampai malam dengan temen-temen, nyetel radio keras-keras dan bernyanyi sepuas-puasnya. Apalagi kalau hari minggu, aku selalu keluar dengan motor bersama teman-teman kerumah Yanti, cewek manis temen kuliahku.
Namun malam ini aku dirumah saja. Seperti kebiasaan setiap hari aku nyetel lagu heavy Metal kesuakaanku keras-keras. Aku tak peduli apakah para tetanggaku terganggu atau tidak, yang penting Happy! Toh ini khan tape ku sndiri, disetel di tempet kostanku sendiri, apa urusan orang lain. Bahakn aku kemarin di tegur oleh seorang mahasiswa tetangga kostku. Biasa anak Masjid, senengnya nasihatin orang terus. Tapi, nasihat itu tidak pernah aku perhatikan. Masuk kuping kiri, keluar kuping kanan.
Badanku yang kurus ini ku baringkan di tempat tidur. Suara alunan musik Power Metal juga terus mengiringi. Walaupun agak berantakan arasemen lagu itu, emang gitu stylenya. Lagi asyik-asyik ndengerin lagu ada seorang ketuk-ketuk pintu. Tok! Tok! Tok!
"Udah tau!, suruh ngecil kan?" jawabku tanpa membuka pintu. "Nih, udah gua kecilin. Puas!" Lanjutku setelah ngecilkan volume tipeku.
Suara ketukan pintu terus terdengar. Tok! Tok! Tok!
"Apalagi sih ?!" tanyaku sambil buka pintu. Wajah berjenggot itu dengan dua titik hitam dijidatnya tertampang di mukaku. Ia menahan nafas dan berkata, "Terima kasih mas !"
"Ya udah, sama-sama" ketusku dan langsung kututup tanpa mendengerkan kata-katanya lebih lanjut. Paling juga mengucapkan salam. Bosen!
Pruk! Jaket biruku yang tergantung di belakang pintu terjatuh. "Ah, Brengsek! Jatuh lagi". Beberapa saat kemudian saat aku ingin mengantungnya kembali tapi dari sakunya menyembul lipatan kertas kuning. Persis seperti kejadian di gudang beberapa bulan yang lalu. Penasaran aku buka lipatan itu, namun kali ini lebih berhati-hati. Ternyata kertas itu bertuliskan tanggan yang sama namun isinya berbeda. (Isinya mengenai Hadist yang menceritakan tentang, Abu Aswad mempunyai tetangga bani Halis. Yang mana tetangga nya itu selalu menganggu Abu terus-menerus. Kemudian bani halis dibalas dengan teguran Tuhan….)
Dengan sedikit gemetar aku meletakan selembar kertas itu disebelahku dan aku mencoba merenungi. "Apa maksud dari semua ini?" tanyaku dalam batin. Aku kembali menoleh kearah kertas tadi. Spontan mataku terbelalak. Kertas itu hilang tanpa bekas. Tak ada angin yang bertiup kencang pada malam itu. Kipas anginku pun tak kunyalakan."Perasaanku tadi aku taruh disini!" Gumamku sambil memeriksa sekelilingku.
"Aneh …!"
beberapa hari aku terus memikirkan kejadian itu. Aku tak tau siapa yang sengaja berbuat seperti itu. Seingatku jaket itu tidak kupinjamkan ke orang lain sebelum kejadian itu. Bahakan kejadian di gudang itu juga … "Jangan … jangan …" Pikiranku langsung menangkap hal-hal yang berbau mistik, yang berkaitan dengan kejadian itu.
"Jaket ini … ada sesuatu di Jaket ini."
Tapi… "Kupandangi jaket itu lekat. Bulu kudukku terasa merinding.
"Ah, mana mungkin. Tampaknya biasa-biasa saja kok! Aku tak percaya dengan segala macam tahayul. Mungkin ini kerjaan temenku yang iseng …"
"Tapi siapa ya ? kalaupun iseng kenapa kertas itu bisa menghilang begitu saja". Perasaan hati ku seperti diobrak-abrik.
"He .. ! ini khan jaket biasa, Mana mungkin .." makin penasaran diriku ini. Dengan berlahan kuberanikan diri untuk mendekati jaket itu. Langkah demi langkah kutapaki dengan teratur dan penuh perhitungan. Aku semakin dekat dengan jaket itu dan kuulurkan tanganku asambil mencoba menutup mata, tiba-tiba …
kringgg ..! Kringggg…!
Aku langsung kaget setengah mati. "Dasar Handphone sialan, kagetin orang saja."
Kubaca layar biru Hpku. 'Yanti Home' begitulah tulisan yang terpampang. "Hallo sayang" aku mulai pembicaraan.
"Hallo juga, ! Lagi ngapain,? Sibuk gak?" suara merdu mulai menebar di jatungku.
"Gak .. tuh. Ada perlu apa, sich ?"
"Main ke rumah donk! Lagikesepian nich. Enggak ada temen ngobrol".
"kapan? Sekarang? Oke dech kalo gitu. Tungguin ya.." tanpa basa-basi aku langsung tancap gas ke rumah Yanti. Ku sambar sweater krimku, dan menyemprotkan pewanggi seadanya, hemmm, wangii…..
"Brin, maaf ya. Tadi aku mendadak sekali menelepon kamu. Abis aku sendirian sich"
"Ah, gak apa kok, Yan. Kamu emang sendirian ? Bokap-nyokap keamna? (sambil lihat kesana-kemari di sekitar ruanga tamu)
"mereka lagi keluar kot. Ada acara dinas papa. Eh, Brin kamu mau minum apa ?"
"Apa aja juga enak, kalo kamu yang bikin" rayuku
"Ah kamu bisa saja! Sebentar ya!" Yanti lalu meninggalkanku sendiri. Wangi rafumnya membuat jantungku berdebar-debar. Mataku tak berkedip mengiringi langkah kekosongan ini, lebih baik aku menghisap rokok dari pada ngelamun. Saat kumasukan tanganku ke dalam saku, aku kembali terkejut.
Bersama bungkus rokok juga terdapat lipatan kertas kuning yang kutemui beberapa kejadian lalu. Otakku sudah bisa menebak apa yang ada dalam kertas itu. "Berarti bukan karena jaket biru itu …" antara ragu dan takut aku membuka kertas itu. Tulisan kuno lagi yang terlihat olehku, isinya …
"menceritakan bahwa, Nabi saw pernah didatangi pemuda dan berkata "Ya, Rasullah, ijinkan saya melakukan zina."
"Wahai pemuda," Sapa Nabi dengan ramah "Apakah kamu suku kalau perbuatan zina itu dilakukan pada ibumu, bibimu, saudara-saudara perempuanmu dan putri-putrimu.."
keringat dingin mengalir deras dari pori-pori tubuhku. Wajah pucat dan gemetar tidak lain karena membaca selembar kertas itu. Dan lebih mengkagetkan lagi, kertas itu hilang tanpa bekas, saat aku menutupi wajahku yang ketakutan membaca selembar kertas itu. Tanpa pikir panjang aku langsung pergi meninggalkan rumah Yanti. Aku tak ingin ke rumah. Aku ingin pergi! Pokoknya pergi! Aku ingin lepas dari kertas-kertas itu. Tak peduli Yanti marahkepadaku karena kabur dari rumahnya tanpa ijin dulu. Aku juga tak peduli dengan senyuman manisnya.
Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan tinggi menembus ramainya lalu lintas kota. Masa bodo dengan kendaraan yang aku salip sejak tadi. Bahkan aku tak tahu mau kemana kuarahkan motorku ini. Benakku penuh dengan kertas kuning itu. Awalnya hanya bayang-bayang tak jelas dari kertas itu. Setiap aku menoleh ke arah kanan dan kekiri, depan dan belakang hanya kertas kuning itu yang terlihat olehku. Entah ini halusinasiku atau aku merasa ketakutan. Dan tiba-tiba terdengar suara mengema dari arah atas ! kutatap langit yang pekat. Suara itu semakin keras dan terus mengeras. Aku kembali menantap langit. Ternyata lipatan-lipatan kerta kuning itu berjatuhan dari langit laksana air hujan. Ratusan, mungkin ribuan atau bahkan jutaan kertas kuning jatuh dari langit. Tidak!jangan ganggu aku!teriakku. aku panik! Apalagi saat terpampang didepan sinar kuning yang menyilaukan.
"Ah, Mobil truk sampah!" sedapatnya kubanting setir motorku kekiri, menghidari mobil tersebut. Dan brukk ….. Kraaaakkkk … Preeekkkkk.
Aku tak sadarkan diri.
Dengan agak berat kubuka mataku perlahan-lahan. Kepala ku masih agak pusing ddan sakit. Hanya pandangan putih dan agak buram. Lama-kelamaan pandanganku sudah terfokus juga, namun tetap padnangan putih yang terlihat olehku. Ahhh… !keluar juga erangku menahan sakit. Tubuhku penuh dengan balutan kasa yang hampir menyelimuti tubuhku. Dan aku sadar bahwa saat ini aku berada di rumah sakit setelah mengalami kecelakaan. Namun aku tak tahu sudah berapa lama aku terbaring disini.
Kutatap tulisan kaligrafi berwarna kuning yang tergantung di tembok depan kamar tidurku . ku coba membaca, tulisan itu …
Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang akan menyembuhkanku.
Kupandangi terus tulisan itu, kuulangi lagi membacanya, perlahan mencoba memahaminya. Allah … Allah … Allah … kata-kata ini sangat jarang kusebut beberapa tahun belakangan ini.
Allah … Allah … Allah …Engkau memang Maha Kuasa. Air mataku mulai meluncur melewati pipiku yang sedikit memar, angin subuh memupuri tubuhku yang terluka lemah. Adzan subuh masih nyaring ditelinga. Ku raih tombol merah disamping tempat tidurku. Spontan, suara seseorang keluar dari speaker ruanganku.
"Ada apa pak?"
"Suster, tolong bantu saya ! Saya ingin sholat Subuh.í"
Gerakan Mahasiswa: Perspektif Historis
Oleh : Widya Setya Ningsih

Hampir sulit dipisahkan gerakan mahasiwa dengan fase-fase kehidupan berbangsa. Kekuasan demi kekuasaan sejak jaman penjajahan sampai era Gus Dur berjatuhan oleh kekuatan pasukan "pamflet" ini. Fenomena ini pun terjadi di negara lain, sebut saja: Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela (1958), Ayub Khan di Pakistan (1969), Reza Pahlevi di Iran (1979), Ferdinad Marcos di Piliphina (1985), Chun Doo Hwan di Korea Selatan (1987), dan banyak lagi. Walaupun kejatuhan rezim-rezim itu tidaklah semata karena gerakan mahasiswa saja, namun perannya sangat signifikan untuk menggerakan people power dalam proses mendobrak tirani kekuasaan.
Demikian pula tidak seluruh gerakan mahasiswa mampu memberi inspirasi untuk tumbuhnya perlawanan total masyarakat, serta kemudian berhasil meruntuhkan suatu rezim, banyak diantara gerakan mahasiswa yang akhir kandas, baik karena tindakan represif rejim berkuasa, misalnya: kejadian lapangan Tianamen, di Cina. Atau karena kuatnya posisi politik rezim berkuasa, sebut saja gerakan "Sebulat Suara" dari Majlis Perwakilan Pelajar di institusi penyajian tinggi Malaysia, yang tidak mampu menggoyahkan kekuatan Dato Seri Dr.Mahathir Mohamad; sampai awal tahun ini.
Gerakan mahasiswa Indonesia di awali saat kebangkitan nasional di awal abad yang lalu, yang dimulai oleh geliatnya mahasiswa STOVIA di Jakarta. Dimana salah satu hasilnya yang saat ini masih bisa dinikmati, adalah Paguyuban Pasundan. Gebyarnya Sumpah Pemuda, heroiknya perang kemerdekaan, serta berkumandangnya proklamasi kemerdekaan; lekat dengan dinamika perjuangan mahasiswa di awal sejarah tegaknya negara kesatuan RI. Demikian pula, saat tahun 1966, dimana rezim Soekarno dianggap tidak lagi dianggap mampu menanggulangi kompleksitas permasalahan bangsa saat itu, gelagak semangat kaum muda tumpah ruah di jalanan, yang akhirnya mampu menumbangkan Presiden RI pertama ini, serta menghantarkan Soeharto dengan rezim militernya ke tampuk kekuasaan.
Kemudian sejarah pun mencatat, bagaimana kekuatan kontrol sosial (social control) bergerak mengkoreksi kinerja rezim orde baru di tahun 1974, sampai mencapai puncaknya di tahun 1978. Perjuangan di dekade itu memang tidak sempat menurunkan Soeharto dari tampuk pimpinan negara. Malahan beberapa orang aktivis, seperti : Hariman Siregar, Syahrir, Dipo Alam dan banyak lagi harus meringkuk di sel-sel tahanan di tahun 1974 akibat peristiwa yang kita kenal dengan peristiwa Malari. Mereka menentang investasi asing dan utang luar negeri yang kian hari kian membesar dan berpotensi memberatkan anak cucu kita dikemudian hari. Pada akhirnya, saat ini kita pun merasakan bahwa yang mereka perjuangkan itu benar adanya.
Demikian pula Iqbal, Heri Akhmadi, dan banyak lagi aktivis mahasiswa di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta harus kembali meringkuk didinginnya sel tahanan militer. Mereka menentang korupsi yang terus merajalela, serta pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal. Aktivitas mereka dianggap menggangu atmosfir perguruan tinggi, sehingga saat itu oleh Daoed Joesoef (sebagai mendikbud) kampus harus di normalkan. Keluarlah peraturan pemerintah mengenai NKK/BKK yang memberangus hak-hak mahasiswa untuk melakukan kontrol sosial, dan melakukan depolitisasi kampus. Efek konsep NKK/BKK bukan saja merusak tatanan struktural organisasi intra dan ekstra kampus saja, namun dalam perkembangannya merusak pula cara pandang dan tingkat kepekaan mahasiswa terhadap permasalahan sosial dan politik.
Dalam jangka waktu yang panjang -celakanya aromanya masih terasa saat ini- pragmatisme telah mengotori cara berpikir kelompok elit mahasiswa, dan sebagian besar mahasiswa menjadi skeptis terhadap masalah-masalah sosial.
Adalah Fuad Hasan, saat menjabat mendikbud, ia mengeluarkan kebijakan yang pada dasarnya mengkoreksi NKK/BKK, dan keluarlah konsep Wawasan Almamater. Walaupun belum sepenuhnya memenuhi tuntutan untuk kembalinya independensi dan student government, bagi organisasi intra kampus, namun celah-celah depolitisasi mulai terbuka.
Namun sekali lagi, NKK/BKK bukan sekedar masalah struktural tetapi masalah kultural, perubahan iklim itu lambat diantisipasi oleh aktivis mahasiswa, yang kandung menimati posisi sebagai "anak manisnya". Sampai pada satu masa dimana isyu pencabutan SDSB mampu menjadi pemicu gerakan bersama kaum muda kampus. Momen kebersamaan serta kepengapan politik saat itu, ternyata mampu mengkristalkan sebuah konsep "musuh bersama", yakni KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dan pada akhirnya tiba pada satu isyu klimaks, yakni "turunkan Soeharto".
Dilihat dari hasil akhir gerakan mahasiswa tahun 1998, adalah gerakan luar biasa. Mampu menarik emphati masyarakat, dan sekaligus mendorong kekuatan infra struktur politik, yang sekian lama di bawah bayang-bayang supra struktur politik, untuk dapat berperan lebih aktip. Terlepas seberapa menyebalkannyapun anggota legislatip saat ini, namun itu adalah kerja maksimal yang dapat dilakukan oleh kekuatan ekstra parlementer, dalam hal ini gerakan mahasiswa, di tengah kekuatan intra parlementer tidak mampu melakukan; untuk mengubah keadaan.
Akan tetapi sehebat apapun hasil akhir gerakan mahasiswa tahun 1998, ada satu fenomena yang menarik dilihat dari sisi kepemimpinan mahasiswa, yakni tidak munculnya nama-nama terkenal sebagaimana perjuangan serupa di waktu-waktu yang lalu. Di satu sisi, fenomena ini bisa dipahami sebagai bentuk kearifan dan kebersamaan. Namun di sisi lain, menimbulkan arogansi kolektif. Setiap orang berhak merasa dirinya yang paling berjasa.
Dari diskusi di atas, dapat disimpulkan bahwa tipe kepemimpinan mahasiswa saat ini cenderung kolektip. Masing-masing punya jaringan ke dalam maupun keluar sama baiknya. Jaringan tidak lagi harus dibatasi oleh sekat idielogis, namun dapat lebih bersipat pragmatik. Untuk proses pembelajaran adaftasi sosial, fenomena itu sah-sah saja, namun memiliki potensi rentan terhadap penyusupan kelompok kepentingan. Saat ini masih banyak kader-kader pemimpin mahasiswa yang memiliki moralitas dan visi yang baik. Mereka tetap tegar dengan posisi historisnya sebagai corong perjuangan masyarakatnya, walaupun beban mereka jauh lebih berat dibanding masa lalu, yakni antara lain, iklim pembelajaran di perguruan tinggi yang lebih condong pada pengukuran kecerdasan inteketual (IQ) sebagai indikator kebermaknaan hasil pendidikan di perguruan tinggi. Bravo pajuang muda.
Pola Kepemimpinan dalam Sejarah Gerakan Mahasiswa
Oleh : Merry Rhitmayanti

Wacana tentang gerakan mahasiswa selalu menarik diberbagai negara. Geliatnya linear dengan timbulnya rasa ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan penindasan terhadap rakyat oleh kekuasaan. Upaya depolitisasi yang dilakukan oleh penguasa, serta hegemoni kelompok kepentingan dalam konstelasi politik nasional, senantiasa menjadi agenda penting dalam setiap gerakan mahasiswa di berbagai negara di belahan dunia. Sepak terjang kelompok muda intelektual ini telah menghasilkan berbagai resume seminar mengenai hal itu, demikian pula tak terhitung banyaknya buku dan tulisan yang telah dipublikasikan, namun sebagaimana diungkapkan pada kalimat pertama tulisan ini, fenomena ini selalu menarik untuk diperbincangkan. Terutama sisi dinamika dan pergeseran pola gerakan, yang di dalamnya termuat pola kepemimpinan, karena secara teoritik pergeseran itu akan berimbas signifikan terhadap pola kepemimpinan dan dinamika masyarakat dalam skala yang lebih luas.
Di sisi lain, gerakan mahasiswa juga merupakan anak kandung dari perubahan yang terjadi pada budaya masyarakat. Sehingga ide, semangat, pola, dan implikasi gerakan di setiap masa, tidak lepas dari kecenderungan budaya yang berkembang di masyarakat. Dalam konteks itulah, boleh jadi munculnya distorsi dalam perilaku "tokoh-tokoh" gerakan mahasiswa belakangan ini, merupakan miniatur dari dominannya budaya "pragmatik dan fragmentaris" warisan orde baru dalam budaya masyarakat kita.
Sebelum distorsi ini meluas, dan gerakan mahasiswa terperoksok dalam "kecelakanaan sejarah" yang kian parah, ada baiknya saat ini, semua elemen yang merasa bertanggung jawab kepada tegaknya semangat "kepeloporan dan kebenaran" pada kelompok muda ini ikut memikirkan, dan memberi kontribusi untuk menemukan kembali format gerakan dan pola kepemimpinan mahasiswa. Sehingga esensi dan eksistensi perjuangannya tetap terjaga dari maksud pihak kepentingan yang akan menunggangi idealisme dan kejujuran gerakan mahasiswa. Tulisan ini dibuat, adalah refeleksi dari kegundahan setelah melihat fenomena ini, kian hari kian kentara. Dan dengan keyakinan penuh, bahwa masih banyak aktivis-aktivis mahasiswa yang masih mengedepankan hati nurani, kejujuran, dan idealisme; maka tulisan ini dibuat.
Dilihat dari perspektif sejarah, gerakan mahasiswa Indonesia dapat dikelompokan, ke dalam tiga (3) era, yakni: Era student government, Era Depolitisasi kampus, dan Era Reformasi. Pada ketiga era ini meniscayakan munculnya profil pemimpin di kalangan mahasiswa. Pertama, era student government, saat itu gerakan mahasiswa bersifat independen. Walaupun sekat-sekat idielogis sulit ditepis, namun kebebasan mengekpresikan "kebenaran" tersedia. Asumsinya, moralitas adalah ukuran yang bersipat universal. Kemudian ciri lain adalah kuatnya idealisme dan tumbuhnya semangat demokratisasi. Walaupun ukuran-ukuran kedua hal tersebut masih dalam skala masyarakat paternalistik, namun dapat memberi ruang yang cukup untuk tumbuhnya figur pemimpin dari bawah (bottom up). Dewan Mahasiswa (DM) adalah reperesentasi dari pemerintahan mahasiswa (student government) memiliki posisi tawar yang tinggi, dan memiliki jaringan ke dalam dan keluar (ekstra dan intra kampus) sama kuatnya.
Kedua, era Depolitisasi kampus, di era ini mahasiswa dikembalikan pada habitat aslinya sebagai penggali ilmu pengetahuan. Kampus adalah tempat bersemainya kader-kader intelektual yang memiliki ketajaman berpikir dan memiliki kompetensi keilmuan yang tinggi. Organisasi mahasiswa adalah bagian integral dari usaha mewujudkan visi perguruan tinggi, yakni meningkatnya nalar mahasiswa. Guna memberi dukungan ke arah itu, maka pengembangan minat dan bakat mahasiswa, serta kesejahteraan mahasiswa merupakan bagian tak terpisahkan dalam kegiatan pembinaan kemahasiswaan. Untuk itu maka urusan kemahasiswaan bukan saja urusan mahasiswa semata, namun juga menjadi kewajiban birokrasi kampus. Aktivitas mahasiswa di luar keilmuan tetap diperbolehkan selama itu menjadi tanggung jawab mahasiswa secara individual. Mengekpresikan kegiatan serupa itu bisa melalui kegiatan organisasi mahasiswa ekstra kampus (HMI, PMKRI, GMNI, dan sejenisnya).
Alhasil gerakan masiswa intra kampus, selama periode ini, menjadi dependen, eklusif, dan cenderung pragmatik (orientasi pada keilmuan dan hal-hal yang lebih jelas lagi). Mahasiswa, dan juga saat itu umumnya rakyat Indonesia, digiring menjadi apolitis. Politik diposisikan sebagai stigma yang harus dijauhi. Dekade ini diwarnai dengan pemimpin mahasiswa bergaya "anak manis" khususnya pada organisasi formal. Mereka adalah mahasiswa dengan IPK yang relatif baik, menguasai substansi keilmuannya, namun tidak cukup kuat memiliki interelasi dengan akar rumput, adakalanya gagap menghadapi dinamika sosial, serta kurang mau mengambil resiko.
Ketiga, era reformasi. Saya juga sering menyebut era ini sebagai era transisional, karena menurut penulis, saat ini belum menunjukan ciri bahwa era ini bersifat permanen. Berbagai ketentuan, seiring dengan semangat reformasi dan demokratisasi, telah dilakukan regulasi. Secara makro perubahan ini tidak lepas dari buah gerakan mahasiswa tahun 1998. Gerakan mahasiswa 1998 ini, menurut hemat penulis jauh lebih hebat dari gerakan serupa di tahun 1966,1974, maupun 1978. Sebagaimana terungkap di atas, perjuangan tahun 1974, dan juga tahun 1978 tidak berhasil menggulingkan pemerintah yang berkuasa saat itu, yakni Soeharto. Sedang gerakan mahasiswa tahun 1998 mampu menggeser rezim yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun ini. Padahal isyu yang dibawanya tidaklah jauh berbeda dengan dua peristiwa sebelumnya. Kemudian gerakan mahasiswa tahun 1998 inipun jauh lebih hebat ketimbang gerakan serupa di tahun 1966. Karena gerakan di tahun 1966, jelas-jelas didukung militer setidak-tidaknya militer bukan variabel yang menjadi penghambat. Namun gerakan mahasiswa tahun 1998, justru harus berhadap-hadapan dengan kekuatan militer, khususnya AD, dan sedikit memperoleh angin dari AL.
Urgensi Moralitas dalam Krisis Kepemimpinan Bangsa
Oleh : Akhmad Khudzaifi WZF

Perbincangan masalah Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 pada saat sekarang ini menjadi fokus menarik dikalangan pengamat dan mahasiswa, bahkan masyarakat di Indonesia. Periodisasi kepemimpinan nasional dalam format rezim pemerintahan selalu menyajikan sorotan tajam dari kehidupan supra struktur politik khususnya dan kehidupan infrastruktur politik pada umumnya. Apalagi model dalam pemilihan presiden sudah diganti dengan pemilihan presiden secara langsung. Dengan tujuan untuk mengarahkan perpolitikan Indonesia kearah demokratisasi. Tetapi permasalahannya hingga saat sekarang ini masih menyimpan ketakutan-ketakutan besar bagi masyarakat, karena para calon-calon pemimpin sudah tidak memiliki figur di hadapan masyarakat. Sehingga harus bagaimana masyarakat agar memilih pemimpin bangsa ini untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan masa lampau?
Salah satu pelajaran terpenting bagi bangsa Indonesia adalah tidak pernah mencermati secara mendalam keburukan-keburukan yang paling penting dari para pemimpin yang lalu. Sepertinya seluruh golongan masyarakat selalu mengomentari atau mengkritisi pemimpinan masa lalu dari keburukan kinerja-kinerja mereka karena tidak pernah mensejahterakan masyarakatnya tanpa melihat dibalik dari keburukan kinerja tersebut. Hal ini dibuktikan pada zaman kepemimpinan Soekarno para masyarakat dan mahasiswa menggulingkan Soekarno karena menerapkan demokrasi terpimpinya, sehingga masyarakat dan mahasiswa harus melengserkan Soekarno dari kursi kepemimpinannya.
Pada zaman Soehartopun sama, karena menebalnya kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), akhirnya Soeharto turun dari jabatannya. Pada zaman Habibie dengan ditolaknya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ), karena dengan merdekanya Timor-Timur sebagai suatu negara. Hal yang sama juga dilakukan oleh kepemimpinan Abdurrahman Wahid, karena kasus Buloggate. Pada kepemimpinan saat inipun tidak lepas dari kritikan dan ancaman bahwasannya kepemimpinan Megawatipun mengalami keburukan dalam kinerjanya.
Sebenarnya dari keburukan-keburukan kinerja itu ada satu hal yang belum pernah terditeksi sama sekali, yakni dengan tidak memiliki moral dari pemimpin-pemimpin bangsa. Sepertinya para pemimpin bangsa tidak pernah melekatkan moralitas sebagai landasan dalam melakukan aktivitasnya. Sehingga wajar saja apabila bangsa Indonesia terpuruk oleh berbagai krisis multidimensi, hingga krisis kepemimpinan saat ini.
Memang sangat baik apabila seluruh pemimpin atau calon pemimpin kedepan menerapkan bahwasannya bangsa Indonesia harus terlepas dari krisis, sehingga cita-cita sebagai bangsa ideal akan tercapai. Hal inipun akan mengembalikan citra bangsa Indonesia dihadapan dunia internasional. Tetapi cita-cita muluk itu seolah-olah menafikan aspek lain yang sangat urgen menjadi dasar perilaku kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya moralitas orang tidak segan-segan melakukan tindakan asusila, bahkan mungkin apabila tidak sesuai pendapat dengan dirinya akan melakukan tindakan kekerasan.
Sejak pemerintahan Orde Baru (orba) dan digulirkannya era reformasi betapa banyak kasus krisis moral yang melanda bangsa ini. Kasus KKN, perkosaan, penjarahan, pembantaian dan baku hantam sesama manusia, antar etnis, agama dan pendukung partai politik hampir tiap hari selalu mewarnai pemberitan pers dan media masa.
Utopia yang diinginkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang berbudi pekerti luhur, yang cinta damai, adil dan makmur seakan-akan hanya slogan saja. Distopia (keadaan yang tidak diinginkan) oleh bangsa ini, malah menjadi seuatu kenyataan. Betapa sangat menyedihkan bangsa ini seperti tercabik-cabik oleh perilaku dirinya sendiri.
Nilai-nilai moral pancasila yang telah diajarkan dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi pun tidak mampu menghadapi gejolak krisis kepemiminan yang ada. Hanya lewat kesadaran dari diri pribadi dan agamalah yang mampu mendongkrak moral kita menjadi lebih baik kembali.
Tidak salah jika kita harus mengaplikasikan aspek moral pada posisi terdepan, karena dengan moralitas ini akan menuju kepada keinginan untuk rela berkorban demi bangsa dan negara tanpa memikirkan pribadinya dan mengacu kepada landasan agama (religius). Meskipun memang moralitas ini bersifat abstrak dan tidak memiliki sanksi tegas yang berbeda dengan hukum. Namun, justru karena abstraknya tersebut menarik untuk dijadikan landasan berprilaku.
Berangkat dari sinilah, maka urgensi nilai-nilai moralitas dalam mengatasi krisis kepemimpinan bangsa dalam rangka menumbuh kembangkan sikap pragmatisme dan oportunitik yang tidak sesuai dengan nilai filosofis (pancasila) dan nilai sosiologis adalah suatu kebutuhan dan suatu kenyataan yang harus ada dan segera direalisasikan dalam dunia perpolitikan saat ini menuju arah yang demokratis. Sehingga kebangkitan bangsa Indonesia menuju cita-cita ideal sebagai bangsa yang maju dan kuat akan terwujud.