Rabu, 25 Juli 2007

Mengurai Benang Kusut Kepemimpinan Megawati
Oleh : Akhmad Khudzaifi WZF

Menjelang pemilu 2004 ini tampaknya suhu politik bertambah panas. Di awal tahun 2003 ini pemerintahlah justru yang menyalakan pemantiknya dengan menaikan harga BBM, TDL, dan telpon (walaupun kemudian sebagian dikoreksi), sehingga pemerintah harus menuai aksi protes dari seluruh elemen lapisan masarakat dari mahasiswa, pekerja (buruh), pengusaha sampai ibu-ibu. Mereka semua rame-rame turun ke jalan untuk menyerukan aspirasinya dan menolak kebijakan pemerintah yang jelas-jelas tidak populis dan tidak berpihak kepada rakyat.

Bila kemudian tuntutan itu dipolitisasi oleh sebagian kalangan dan diasumsikan telah berbelok arah menjadi tuntutan mundur duet Mega-Hamzah itu sah-sah saja dalam situasi politik seperti ini. Bagi para mahasiswa, tuntutan mundur itu tak lebih dari kausalitas dari ketiadaan respon pemerintah terhadap lima tuntutan mahasiswa, yaitu batalkan kenaikan harga (bukan diturunkan sebagian), hentikan penjualan aset negara pada asing (termasuk pembatalan divestasi Indosat), seret para konglomerat hitam bermasalah yang telah memakan uang rakyat ratusan triliun dan alihkan menjadi subsidi bagi rakyat, tolak intervensi asing, dan hentikan pembodohan rakyat.

Memang dalam kurun waktu 19 bulan tidak banyak yang dihasilkan oleh pemerintahan Megawati (yang betul-betul dirasakan serta menyentuh langsung kepentingan rakyat). Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, Megawati dinilai lebih banyak berpihak kepada konglomerat walaupun dalam kampanye politiknya selalu menggembar-gemborkan sebagai ketua umum parta wong cilik. Tengoklah, misalnya, sikap Megawati yang lebih melanjutkan perjalanan ke luar negeri dibanding menengok para pengungsi di Nunukan, atau kebijakannya mengeluarkan inpres Release and Discharge (R & D) bagi para konglomerat bermasalah pengemplang utang.

Kemudian, pertanyaannya adalah layakkah pemerintahann (rejim) sekarang ini dipertahankan? Dan, seperti apa pertimbangannya? Sebagian kalangan menilai bahwa pemerintahan harus diberikan kesempatan sampai akhir masa jabatan dengan pertimbangan supaya tidak menjadi preseden buruk di masa yang akan dating, yaitu setiap pemerintah dapat digoyang untuk diturunkan. Tentunya hal tersebut akan memperlambat dan menambah panjang PR pembangunan bangsa.

Minimal ada tiga variabel yang sangat mempengaruhi terjadi tidaknya transisi kepemimpinan nasional. Pertama, legalitas publik. Ini dapat tercermin dari opini yang berkembang di media masa, termasuk di dalamnya aksi-aksi protes yang terus digelar oleh berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, pekerja (buruh), pengusaha, LSM, ataupun elemen bangsa lainnya. Bila ini semua menggelinding menjadi snow ball (bola salju), tidak mustahil akan menjadi salah satu sebab jatuhnya rejim ini. Apalagi, ditambah sikap refresif aparat dengan menangkapi para aktivis, atau dengan jatuhnya korban di kalangan masa demonstrasi. Tentu itu akan memicu aksi yang lebih luas di tanah air sebagai resistensi terhadap pemerintah. Inilah tampaknya yang membuat Megawati merasa gundah dan terpojokan sehingga perlu memberikan kritiknya kepada pers dalam pidato politik HUT PDIP.

Kedua, militer, dalam hal ini TNI dan POLRI, melalui elit-elit decision maker, baik yang berada di legislatif maupun eksekutif. Tentunya dengan visi baru reformasi internal TNI yang tidak mau terlibat langsung dalam politik praktis dan mengubah paradigma dari menduduki menjadi mempengaruhi, TNI memilki bargaining (posisi tawar) tersendiri serta menjadi juru kunci penentu transisi kepemimpinan nasional.

Ketiga, parlemen. Tentunya tarik ulur kepentingan dua partai besar pemenang pemilu Golkar dan PDIP akan sangat berpengaruh. Akbar Tanjung yang tersandung kasus Bulog dan sudah mendapat vonis akan melakukan bargaining politik dengan Megawati, dalam hal ini PDIP sebagai partai pendukung pemerintah.

Akumulasi kekecewaan partai politik lain, baik yang berhalaun sekular maupun yang berhalaun Islam, terhadap Megawati yang tidak juga mengubah kebijakannya dapat juga membuat aliansi bersama. Partai sekular yang berbasis ideologi sosialis atau nasionalis kebanyakan menggerutu karena sikap pemerintah Megawati yang dianggap tidak nasionalis, karena berkolaborasi dengan asing yang kapitalis dalam penjualan serta penguasaan aset-aset nasional. Ini dapat dijadikan landasan konstitusi transisi kepemimpinan nasional, yaitu tidak dilaksanakannya Tap MPR 2002 yang berisikan pemutusan hubungan dengan IMF dan pemberantasan KKN.

Sementara, bagi kalangan muslim kekecewaan itu ditambah dengan sikap pemerintah terhadap gerakan Islam dengan isu teroris. Gerakan Islam yang dianggap "keras" menjadi kambing hitam jaringan teroris internasional yang selama ini di bidik pemerintah AS dan sekutunya. Sikap diskriminasi pemerintah dalam menangani kasus Abu Bakar Ba'asyir yang terlihat mengada-ada (berbeda dengan penanganan kasus pejabat seperti Akbar Tanjung, dan terkesan cari muka) itu menambah kesan kian transparannya rekayasa internasional pemojokan gerakan Islam yang mendengungkan penerapan syariat Islam sebagai bagian gerakan teroris internasional.

Sikap Megawati yang banyak diam (menandakan persetujuan?) telah menjadi batu sandungan bagi partai-partai Islam, apakah kepemimpinan ini terus dipertahankan sesuai dengan konsensus bersama yang berakhir tahun 2004, atau cukup diakhiri sampai di sini saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar