Selasa, 24 Juli 2007

Gerakan Mahasiswa: Perspektif Historis
Oleh : Widya Setya Ningsih

Hampir sulit dipisahkan gerakan mahasiwa dengan fase-fase kehidupan berbangsa. Kekuasan demi kekuasaan sejak jaman penjajahan sampai era Gus Dur berjatuhan oleh kekuatan pasukan "pamflet" ini. Fenomena ini pun terjadi di negara lain, sebut saja: Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela (1958), Ayub Khan di Pakistan (1969), Reza Pahlevi di Iran (1979), Ferdinad Marcos di Piliphina (1985), Chun Doo Hwan di Korea Selatan (1987), dan banyak lagi. Walaupun kejatuhan rezim-rezim itu tidaklah semata karena gerakan mahasiswa saja, namun perannya sangat signifikan untuk menggerakan people power dalam proses mendobrak tirani kekuasaan.
Demikian pula tidak seluruh gerakan mahasiswa mampu memberi inspirasi untuk tumbuhnya perlawanan total masyarakat, serta kemudian berhasil meruntuhkan suatu rezim, banyak diantara gerakan mahasiswa yang akhir kandas, baik karena tindakan represif rejim berkuasa, misalnya: kejadian lapangan Tianamen, di Cina. Atau karena kuatnya posisi politik rezim berkuasa, sebut saja gerakan "Sebulat Suara" dari Majlis Perwakilan Pelajar di institusi penyajian tinggi Malaysia, yang tidak mampu menggoyahkan kekuatan Dato Seri Dr.Mahathir Mohamad; sampai awal tahun ini.
Gerakan mahasiswa Indonesia di awali saat kebangkitan nasional di awal abad yang lalu, yang dimulai oleh geliatnya mahasiswa STOVIA di Jakarta. Dimana salah satu hasilnya yang saat ini masih bisa dinikmati, adalah Paguyuban Pasundan. Gebyarnya Sumpah Pemuda, heroiknya perang kemerdekaan, serta berkumandangnya proklamasi kemerdekaan; lekat dengan dinamika perjuangan mahasiswa di awal sejarah tegaknya negara kesatuan RI. Demikian pula, saat tahun 1966, dimana rezim Soekarno dianggap tidak lagi dianggap mampu menanggulangi kompleksitas permasalahan bangsa saat itu, gelagak semangat kaum muda tumpah ruah di jalanan, yang akhirnya mampu menumbangkan Presiden RI pertama ini, serta menghantarkan Soeharto dengan rezim militernya ke tampuk kekuasaan.
Kemudian sejarah pun mencatat, bagaimana kekuatan kontrol sosial (social control) bergerak mengkoreksi kinerja rezim orde baru di tahun 1974, sampai mencapai puncaknya di tahun 1978. Perjuangan di dekade itu memang tidak sempat menurunkan Soeharto dari tampuk pimpinan negara. Malahan beberapa orang aktivis, seperti : Hariman Siregar, Syahrir, Dipo Alam dan banyak lagi harus meringkuk di sel-sel tahanan di tahun 1974 akibat peristiwa yang kita kenal dengan peristiwa Malari. Mereka menentang investasi asing dan utang luar negeri yang kian hari kian membesar dan berpotensi memberatkan anak cucu kita dikemudian hari. Pada akhirnya, saat ini kita pun merasakan bahwa yang mereka perjuangkan itu benar adanya.
Demikian pula Iqbal, Heri Akhmadi, dan banyak lagi aktivis mahasiswa di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta harus kembali meringkuk didinginnya sel tahanan militer. Mereka menentang korupsi yang terus merajalela, serta pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal. Aktivitas mereka dianggap menggangu atmosfir perguruan tinggi, sehingga saat itu oleh Daoed Joesoef (sebagai mendikbud) kampus harus di normalkan. Keluarlah peraturan pemerintah mengenai NKK/BKK yang memberangus hak-hak mahasiswa untuk melakukan kontrol sosial, dan melakukan depolitisasi kampus. Efek konsep NKK/BKK bukan saja merusak tatanan struktural organisasi intra dan ekstra kampus saja, namun dalam perkembangannya merusak pula cara pandang dan tingkat kepekaan mahasiswa terhadap permasalahan sosial dan politik.
Dalam jangka waktu yang panjang -celakanya aromanya masih terasa saat ini- pragmatisme telah mengotori cara berpikir kelompok elit mahasiswa, dan sebagian besar mahasiswa menjadi skeptis terhadap masalah-masalah sosial.
Adalah Fuad Hasan, saat menjabat mendikbud, ia mengeluarkan kebijakan yang pada dasarnya mengkoreksi NKK/BKK, dan keluarlah konsep Wawasan Almamater. Walaupun belum sepenuhnya memenuhi tuntutan untuk kembalinya independensi dan student government, bagi organisasi intra kampus, namun celah-celah depolitisasi mulai terbuka.
Namun sekali lagi, NKK/BKK bukan sekedar masalah struktural tetapi masalah kultural, perubahan iklim itu lambat diantisipasi oleh aktivis mahasiswa, yang kandung menimati posisi sebagai "anak manisnya". Sampai pada satu masa dimana isyu pencabutan SDSB mampu menjadi pemicu gerakan bersama kaum muda kampus. Momen kebersamaan serta kepengapan politik saat itu, ternyata mampu mengkristalkan sebuah konsep "musuh bersama", yakni KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dan pada akhirnya tiba pada satu isyu klimaks, yakni "turunkan Soeharto".
Dilihat dari hasil akhir gerakan mahasiswa tahun 1998, adalah gerakan luar biasa. Mampu menarik emphati masyarakat, dan sekaligus mendorong kekuatan infra struktur politik, yang sekian lama di bawah bayang-bayang supra struktur politik, untuk dapat berperan lebih aktip. Terlepas seberapa menyebalkannyapun anggota legislatip saat ini, namun itu adalah kerja maksimal yang dapat dilakukan oleh kekuatan ekstra parlementer, dalam hal ini gerakan mahasiswa, di tengah kekuatan intra parlementer tidak mampu melakukan; untuk mengubah keadaan.
Akan tetapi sehebat apapun hasil akhir gerakan mahasiswa tahun 1998, ada satu fenomena yang menarik dilihat dari sisi kepemimpinan mahasiswa, yakni tidak munculnya nama-nama terkenal sebagaimana perjuangan serupa di waktu-waktu yang lalu. Di satu sisi, fenomena ini bisa dipahami sebagai bentuk kearifan dan kebersamaan. Namun di sisi lain, menimbulkan arogansi kolektif. Setiap orang berhak merasa dirinya yang paling berjasa.
Dari diskusi di atas, dapat disimpulkan bahwa tipe kepemimpinan mahasiswa saat ini cenderung kolektip. Masing-masing punya jaringan ke dalam maupun keluar sama baiknya. Jaringan tidak lagi harus dibatasi oleh sekat idielogis, namun dapat lebih bersipat pragmatik. Untuk proses pembelajaran adaftasi sosial, fenomena itu sah-sah saja, namun memiliki potensi rentan terhadap penyusupan kelompok kepentingan. Saat ini masih banyak kader-kader pemimpin mahasiswa yang memiliki moralitas dan visi yang baik. Mereka tetap tegar dengan posisi historisnya sebagai corong perjuangan masyarakatnya, walaupun beban mereka jauh lebih berat dibanding masa lalu, yakni antara lain, iklim pembelajaran di perguruan tinggi yang lebih condong pada pengukuran kecerdasan inteketual (IQ) sebagai indikator kebermaknaan hasil pendidikan di perguruan tinggi. Bravo pajuang muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar