Selasa, 24 Juli 2007

Urgensi Moralitas dalam Krisis Kepemimpinan Bangsa
Oleh : Akhmad Khudzaifi WZF

Perbincangan masalah Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 pada saat sekarang ini menjadi fokus menarik dikalangan pengamat dan mahasiswa, bahkan masyarakat di Indonesia. Periodisasi kepemimpinan nasional dalam format rezim pemerintahan selalu menyajikan sorotan tajam dari kehidupan supra struktur politik khususnya dan kehidupan infrastruktur politik pada umumnya. Apalagi model dalam pemilihan presiden sudah diganti dengan pemilihan presiden secara langsung. Dengan tujuan untuk mengarahkan perpolitikan Indonesia kearah demokratisasi. Tetapi permasalahannya hingga saat sekarang ini masih menyimpan ketakutan-ketakutan besar bagi masyarakat, karena para calon-calon pemimpin sudah tidak memiliki figur di hadapan masyarakat. Sehingga harus bagaimana masyarakat agar memilih pemimpin bangsa ini untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan masa lampau?
Salah satu pelajaran terpenting bagi bangsa Indonesia adalah tidak pernah mencermati secara mendalam keburukan-keburukan yang paling penting dari para pemimpin yang lalu. Sepertinya seluruh golongan masyarakat selalu mengomentari atau mengkritisi pemimpinan masa lalu dari keburukan kinerja-kinerja mereka karena tidak pernah mensejahterakan masyarakatnya tanpa melihat dibalik dari keburukan kinerja tersebut. Hal ini dibuktikan pada zaman kepemimpinan Soekarno para masyarakat dan mahasiswa menggulingkan Soekarno karena menerapkan demokrasi terpimpinya, sehingga masyarakat dan mahasiswa harus melengserkan Soekarno dari kursi kepemimpinannya.
Pada zaman Soehartopun sama, karena menebalnya kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), akhirnya Soeharto turun dari jabatannya. Pada zaman Habibie dengan ditolaknya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ), karena dengan merdekanya Timor-Timur sebagai suatu negara. Hal yang sama juga dilakukan oleh kepemimpinan Abdurrahman Wahid, karena kasus Buloggate. Pada kepemimpinan saat inipun tidak lepas dari kritikan dan ancaman bahwasannya kepemimpinan Megawatipun mengalami keburukan dalam kinerjanya.
Sebenarnya dari keburukan-keburukan kinerja itu ada satu hal yang belum pernah terditeksi sama sekali, yakni dengan tidak memiliki moral dari pemimpin-pemimpin bangsa. Sepertinya para pemimpin bangsa tidak pernah melekatkan moralitas sebagai landasan dalam melakukan aktivitasnya. Sehingga wajar saja apabila bangsa Indonesia terpuruk oleh berbagai krisis multidimensi, hingga krisis kepemimpinan saat ini.
Memang sangat baik apabila seluruh pemimpin atau calon pemimpin kedepan menerapkan bahwasannya bangsa Indonesia harus terlepas dari krisis, sehingga cita-cita sebagai bangsa ideal akan tercapai. Hal inipun akan mengembalikan citra bangsa Indonesia dihadapan dunia internasional. Tetapi cita-cita muluk itu seolah-olah menafikan aspek lain yang sangat urgen menjadi dasar perilaku kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya moralitas orang tidak segan-segan melakukan tindakan asusila, bahkan mungkin apabila tidak sesuai pendapat dengan dirinya akan melakukan tindakan kekerasan.
Sejak pemerintahan Orde Baru (orba) dan digulirkannya era reformasi betapa banyak kasus krisis moral yang melanda bangsa ini. Kasus KKN, perkosaan, penjarahan, pembantaian dan baku hantam sesama manusia, antar etnis, agama dan pendukung partai politik hampir tiap hari selalu mewarnai pemberitan pers dan media masa.
Utopia yang diinginkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang berbudi pekerti luhur, yang cinta damai, adil dan makmur seakan-akan hanya slogan saja. Distopia (keadaan yang tidak diinginkan) oleh bangsa ini, malah menjadi seuatu kenyataan. Betapa sangat menyedihkan bangsa ini seperti tercabik-cabik oleh perilaku dirinya sendiri.
Nilai-nilai moral pancasila yang telah diajarkan dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi pun tidak mampu menghadapi gejolak krisis kepemiminan yang ada. Hanya lewat kesadaran dari diri pribadi dan agamalah yang mampu mendongkrak moral kita menjadi lebih baik kembali.
Tidak salah jika kita harus mengaplikasikan aspek moral pada posisi terdepan, karena dengan moralitas ini akan menuju kepada keinginan untuk rela berkorban demi bangsa dan negara tanpa memikirkan pribadinya dan mengacu kepada landasan agama (religius). Meskipun memang moralitas ini bersifat abstrak dan tidak memiliki sanksi tegas yang berbeda dengan hukum. Namun, justru karena abstraknya tersebut menarik untuk dijadikan landasan berprilaku.
Berangkat dari sinilah, maka urgensi nilai-nilai moralitas dalam mengatasi krisis kepemimpinan bangsa dalam rangka menumbuh kembangkan sikap pragmatisme dan oportunitik yang tidak sesuai dengan nilai filosofis (pancasila) dan nilai sosiologis adalah suatu kebutuhan dan suatu kenyataan yang harus ada dan segera direalisasikan dalam dunia perpolitikan saat ini menuju arah yang demokratis. Sehingga kebangkitan bangsa Indonesia menuju cita-cita ideal sebagai bangsa yang maju dan kuat akan terwujud.